Kamis, 28 Maret 2013

Hukum menurut bahasa berarti menetapkan sesuatu atau tidak menetapkannya. Sedangkan menurut istilah ahli usul fikih, hukum adalah khitab atau perintah Allah SWT yang menuntut mukalaf untuk memilih atau mengerjakan dan tidak mengerjakan, atau menjadikan sesuatu sebagaisebab, syarat atau penghalang bagi adanya yang lain, sah, batal rukhsah, dan azimah.
Maksud sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan, yang bersifat mengikat, yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Dengan demikian sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan atau pedoman syari’at islam
Pada umumnya ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum Islam adalah al Qur’an dan Hadis. Rasulullah SAW bersabda: “aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah (al Qur’an) dan sunahku (Hadis).” (H.R. Baihaqi). (Syamsuri, 2006: 58)
Macam-Macam Sumber Hukum Islam dan Alasan Beserta Contohnya 
1. Al-Qur’an
Secara harfiah, al Qur’an berasal dari bahasa Arab yang artinya bacaan atau himpunan. Al Qur’an berarti bacaan, karena merupakan kitab yang wajib dibaca dan dipelajari, dan berati himpunan karena merupakan himpunan firman-firman Allah SWT (wahyu). (Syamsuri, 2006: 58)
Para ulama tafsir al Qur’an dalam berbagai kitab ‘ulumul qur’an, ditinjau dari segi bahasa (lughowi atau etimologis) bahwa kata al Qur’an merupakan bentuk mashdar dari kata qoro’a yaqro’uu – qiroo’atan – wa qor’an – wa qur’aanan. Kata qoro’a berarti menghimpun dan menyatukan; al Qur’an pada hakikatnya merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang menjadi satu ayat, himpunan ayat-ayat menjadi surat, himpunan surat menjadi mushaf al Qur’an. Di samping itu, mayoritas ulama mengatakan bahwa al Qur’an dengan akar kata qoro’a, bermakna tilawah: membaca. Kedua makna ini bisa dipadukan menjadi satu, menjadi “al Qur’an itu merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang dapat dibaca”
Makna al Qur’an secara ishtilaahi, al Qur’an itu adalah “Firman Allah SWT yang menjadi mu’jizat abadi kepada Rasulullah yang tidak mungkin bisa ditandingi oleh manusia, diturunkan ke dalam hati Rasulullah SAW, diturunkan ke generasi berikutnya secara mutawatir, ketika dibaca bernilai ibadah dan berpahala besar”
Alasan mengapa Al-Quran menjadi sumber hukum islam menurut Hadits yaitu : Ali bin Abi Thalib berkata: Aku dengar Rasulullah SAW bersabda: “Nanti akan terjadi fitnah  (kekacauan, bencana)”  Bagaimana jalan keluar dari fitnah dan kekacauan itu Hai Rasulullah? Rasul menjawab: “Kitab Allah, di dalamnya terdapat berita tentang orang-orang sebelum kamu, dan berita umat sesudah kamu (yang akan datang), merupakan hukum diantaramu, demikian tegas, barang siapa yang meninggalkan al-Qur’an dengan sengaja Allah akan membinasakannya, dan barang siapa yang mencari petunjuk pada selainnya Allah akan menyesatkannya, Al-Qur’an adalah tali Allah yang sangat kuat, cahaya Allah yang sangat jelas, peringatan yang sangat bijak, jalan yang lurus, dengan al-Qur’an hawa nafsu tidak akan melenceng, dengannya lidah tidak akan bercampur dengan yang salah, pendapat manusia tidak akan bercabang, dan ulama tidak akan merasa puas dan kenyang dengan al-Qur’an, orang-orang bertaqwa tidak akan bosan dengannya, al-Qur’an tidak akan usang sekalipun banyak diulang, keajaibannya tidak akan habis, ketika jin mendengarnya mereke berkomentar ‘Sungguh kami mendengarkan al-Qur’an yang menakjubkan, barang siapa yang mengetahui ilmunya dia akan sampai dengan cepat ke tempat tujuan, barang siapa berbicara dengan landasannya selalu benar, barang siapa berhukum dengannya hukumnya adil, barang siapa yang mengamalkan al-Qur’an dia akan mendapatkan pahala, barang siapa yang mengajak kepada al-Qur’an dia diberikan petunjuk ke jalan yang lurus” (HR Tirmidzi dari Ali r.a.)
2. Hadis 
Perkataan hadis berasal dari bahasa Arab yang artinya baru, tidak lama, ucapan, pembicaraan, dan cerita. Menurut istilah shli hadis yang dimaksud dengan hadis adalah segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, berupa ucapan, perbuatan, dan takkir (persetujuan Nabi SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW.
As-Sunah atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara istilah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari’.
Alasan mengapa Hadits di jadikan sumber hukum islam menurut : Hidayatullah.Com–As-Sunah sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran, tidak diragukan pengaruhnya di dalam dunia fiqih Islam, terutama  pada masa para imam mujtahid dengan berdirinya mazhab-mazhab ijtihad. Sebagai masa  kejayaan kajian ilmu hukum Islam di dalam dunia sejarah. Hal semacam ini tidak pernah terjadi pada umat agama lain, baik di zaman dahulu atau sekarang. Setiap orang yang mendalami mazhab-mazhab fiqih, maka akan mengetahui betapa besar pengaruh As-Sunah di dalam penetapan hukum-hukum fiqih.
As-Sunah atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara terminologi adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari’.
Hadis Nabi, walaupun dapat menjadi hujah secara independen (mustaqil), sebagaimana juga Al-Quran, namun kedua kitab tersebut saling melengkapi dan melegitimasi bahwa keduanya adalah hujah dan sumber hukum di dalam syari’at Islam.

3. Ijtihad 

Pengertian ijtihad secara bahasa atau pengertian menurut bahasa, ijtihad artinya, bersungguh-sungguh menggunakan tenaga dan pikiran. Sedangkan dalam pengertian secara istilah, ijtihad ialah, menggunakan pikiran untuk menetapkan hukum atas sesuatu perkara yang dalam al Qur’an dan Sunnah Rasulullah belum dinyatakan hukumnya. Akan tetapi, pengertian tersebut sama sekali tidak berarti bahwa dalam Al Qur’an dan Sunnah terdapat kekurangan, hanya saja manakala beberapa masalah tidak ditetapkan hukumnya.

Menurut pengertian kebahasaan kata Ijtihad berasal dari bahasa Arab, yang kata kerjanya “jahada”, yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih, ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung du dalam al Qur’an dan Hadis dengan syarat-syarat tertentu. (Syamsuri, 2006: 62)
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al Qur’an dan Hadis. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah, apabila hendak mengerjakan sholat ia dapat mencari dan menentukan arah kiblat saat itu melalui ijtihad dengan mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda yang ada. (Syamsuri, 2006: 63)

4. Ijma’ 

Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di atasnya. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.
Kalau menurut prinsip dari pendirian golongan syi’ah, memang ijma’ dan qiyas itu tidak dapat digunakan sebagai landasan Hukum. Akan tetapi bagi madzhab Syafi’i dan juga madzhab mu’tabar yang lain, menggunakan ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum itu, tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadits, sebab Al-Qur’an dan Hadits sendiri juga memerintahkan supaya kita menggunakan Ijma’ dan Qiyas.
Dari Ali ra. menceritakan, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW., “Wahai Rasulullah, jika kami menjumpai suatu urusan yang belum jelas mengenainya apakah diperintah atau dilarang, apa yang engkau perintahkan kepada kami?”
Nabi SAW. bersabda :”Musyawarahkanlah urusan itu dengan fuqaha (orang-orang yang mendalam agamanya) dan para ‘abidin (orang2 yang kuat ibadahnya/orang-orang shalih), dan janganlah kalianmemutuskan urusan itu dengan hanya mengikuti pendapat tertentu.”

Contohnya: pemahaman para ulama’ dari ayat tersebut tidak sama, ada yang mengatakan menyentuh wanita itu membatalkan wudhu dan adayang mengatakan tidak. sedangkan ijma’ itu sudah melalui proses membaca seluruh Al Qur’an dan Hadits yang Shohih serta kesimpulannya dan yang menyimpulkan itu adalah seluruh Ulama’, tanpa ada yang berbeda pendapat tentangnya, jadi kalau suatu hukum yang disebut dengan Ijma’ Ulama’ maka kita harus mengikutinya, karena itu sudah cukup kuat sebagai sumber hukum Islam yang mana sudah melalui Al Qur’an dan Sunnah. Ijma’ Ulama’ ini jumlahnya sedikit dibandingkan dengan ayat Al Qur’an yang beribu-ribu ayat dan juga beribu-ribuhadits, Ijma’ itu sekitar puluhan saja. Dan tidak hanya para Fuqoha’ saja yang dapat memahami melalui Ijma’ ini, orang awam pun bisa dan dengan mudah memahami suatu hukum  melalui Ijma’.
5. Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah SWT: 
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
  1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
  2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
  3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih

1 komentar: